Posted in Uncategorized

Chocolate Coffee

Song Hye’s POV

“Song Hye!”

Tidak perlu berbalik untuk melihatnya, aku tahu siapa yang memanggilku. Langkah kakinya terdengar semakin cepat menghampiriku. Ia lalu merangkul bahuku begitu sudah sejajar denganku.

“Aku harus belajar untuk ujian besok. Aku tidak bisa menemanimu, Cho,” ujarku.

Pria di sebelahku hanya tertawa. Ia terus melangkah bersamaku tanpa melepaskan rangkulannya.

“Kau ujian apa?” Tanyanya.

“Akuntansi Keuangan Lanjutan 2. Memangnya kau tidak ada ujian besok?” Sahutku.

Cho Kyu menunjuk kepalanya dengan tangan kanannya yang bebas. “Aku hanya butuh waktu sebentar untuk membaca kembali semua bahan ujian,” ujarnya membanggakan otaknya yang memang pintar.

“Cih!” Celaku yang tidak seberapa jika dibandingkan dengannya.

“Temani aku minum sebentar setelah itu aku akan menemanimu belajar,” katanya lalu menarikku masuk ke sebuah kafe tanpa persetujuanku. “Kau mau minum apa? Americano? Latte? Mocca?”

Cho Kyu memegang bahuku dengan erat sehingga aku tidak bisa lari kemana-mana. “Coklat panas, gula sedikit, tanpa cream,” jawabku dan barista pun langsung meracik pesanan kami.

Aku dan Cho Kyu baru kenal satu minggu. Aku bertemu pertama kali dengannya di mini market 24 jam tempat aku biasa menghabiskan waktu jika sedang penat. Saat itu, aku tanpa sengaja duduk di sebelah Cho Kyu yang sedang mabuk. Ia minum 8 botol soju sendirian. Aku tidak tahu ia sedang sadar atau tidak, ia menceritakan segala sesuatunya kepadaku.

Berbeda denganku, Cho Kyu dilahirkan di keluarga kaya raya. Ia memiliki segalanya yang tidak aku miliki. Tapi seminggu aku mengenalnya, aku mendapatkan satu hal yang sama-sama tidak kami miliki. Teman.

—–

“Kau ujian apa besok?” Tanyaku karena melihatnya hanya sibuk dengan game online-nya di saat aku belajar keras dengan bahan ujianku yang setebal batu bata.

“Musik Internasional,” jawabnya dengan santai. “Aku sudah memperoleh nilai yang sangat bagus untuk tugas individual dan tugas kelompok jadi ujian besok hanya untuk membuat nilaiku lebih bagus. Santai saja.”

“Cih.”

Lagi-lagi ia membanggakan dirinya sendiri.

“Katamu kau tidak punya teman. Bagaimana kau bisa dapat nilai bagus untuk tugas kelompok?” Tanyaku.

“Song Hye, aku bilang padamu aku tidak punya teman. Teman yang sungguh-sungguh teman. Tapi kalau orang yang mendekatiku karena menginginkan sesuatu dariku, banyak. Tugas kelompok bukan hal yang sulit jika memiliki asas mutualisme,” jawabnya tanpa melepas alat elektronik canggih dari tangannya.

Cho Kyu benar. Pintar, Kaya, Mahasiswa Terbaik. Siapa yang tidak ingin satu kelompok dengannya? Berbeda denganku yang memang sama sekali tidak punya teman karena aku hanyalah orang miskin yang tidak memiliki apa-apa. Modalku masuk universitas hanyalah otakku yang tidak terlalu pintar dan kerja keras yang membuatku bisa mendapatkan beasiswa penuh sampai lulus kuliah nanti.

Aku kembali belajar dan Cho Kyu tetap bermain game online-nya. Ia tidak bergerak sedikitpun sampai aku selesai. “Sudah selesai?” Tanyanya ketika aku membereskan buku-bukuku.

“Aku akan melanjutkannya di rumah,” kataku.

Cho Kyu menghentikan permainannya lalu mengambil buku-buku dari tanganku. “Aku akan mengantarkanmu pulang. Ayo,” ujarnya dan aku pun mengikuti langkahnya menuju mobilnya.

Cho Kyu mengantarkanku sampai di depan rumah, sebuah kamar kecil yang aku sewa bulanan, dan melambaikan tangannya sebelum pergi meninggalkanku. “Besok selesai ujian, jam 3 sore, temui aku di perpustakaan,” ujarnya.

“Okay,” sahutku lalu masuk ke dalam kamarku dan Cho Kyu meninggalkan tempat tinggalku.

Aku kembali belajar demi mempertahankan beasiswa yang aku dapatkan sedangkan Cho Kyu pasti memilih tidur. Aku tidak pernah percaya pria itu akan memegang bukunya jika sudah berada di rumah. Di kampus saja, pegangannya hanya ponsel pintarnya.

Tapi ia memang sangat pintar. Tidak perlu belajar pun ia pasti akan dapat nilai minimal B. Ia juga tidak perlu berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa. Kekayaan keluarga Cho Kyu pasti cukup untuk membiayai kuliahnya sampai tingkat profesor sekalipun.

——

Cho Kyu
06.51 am
Perpustakaan. Jam 3 sore. Jangan lupa.

Me
06.51 am
Ne.

Aku menjawab sekedarnya saja karena aku harus buru-buru pergi ke kafe tempat aku bekerja paruh waktu. Ujianku baru dimulai jam 1 siang sehingga aku bisa mendapatkan beberapa ribu won tambahan dengan bekerja 5 jam sampai tengah hari nanti.

“Hot americano satu,” pesan pelangganku. “Dan satu hot chocolate untukmu,” ujarnya lagi membuatku mengangkat kepalaku untuk menatap pelanggan baru satu ini.

“Cho Kyu, bagaimana bisa kau tahu aku bekerja di sini?”

Cho Kyu hanya tersenyum lalu mengambil americano panas kesukaannya. “Jangan lupa jam 3 di perpustakaan. Hwaiting!” Ucapnya memberikan semangat sambil mengangkat hot americano-nya.

Venus, sesama barista di kafe ini, tiba-tiba datang mendekatiku, hal yang tidak pernah dilakukannya selama 3 bulan aku bekerja di tempat ini. “Song Hye, pria tampan tadi itu temanmu? Bagaimana kau bisa mengenalnya?” Tanyanya.

Kini, aku mengerti perasaan Cho Kyu ketika orang mendekatinya hanya karena menginginkan sesuatu darinya. Hanya karena orang itu membutuhkan sesuatu bukan karena sungguh-sungguh ingin berteman.

Aku tersenyum kepada Venus. “Ada pelanggan datang. Permisi,” kataku lalu menuju tempat pemesanan. Aku sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaannya.

——

Aku menyelesaikan ujianku lebih lama dari biasanya. Mahasiswa yang lain pun begitu. Sudah lewat 5 menit dari waktu yang ditentukan, seluruh mahasiswa masih duduk terpaku di kursi masing-masing. Ujian kali ini sangat susah dan aku pesimis dengan nilai yang akan aku dapatkan.

“Waktu ujian selesai. Segera kumpulkan!” Pengawas ujian pun mulai berkeliling untuk mengambil kertas-kertas ujian kami. Aku mendesah pasrah ketika kertas ujianku diambil. Aku lalu mengambil ponselku yang bolak-balik bergetar di dalam tas.

Cho Kyu
03.35
Aku sudah di depan ruang ujianmu. Kenapa kau belum keluar?

Aku membaca pesan terakhir Cho Kyu kepadaku dan aku sama sekali tidak berniat membalasnya karena aku sudah kehilangan energiku karena ujian yang sangat susah. Aku benar-benar pesimis dengan hasilnya dan aku pusing setengah mati memikirkan nasib beasiswaku jika aku mendapat nilai jelek.

“Kau lama sekali,” kata Cho Kyu yang sudah masuk ke dalam ruang ujianku dan merangkul bahuku seperti biasa dengan santai. Seluruh mata di ruangan menatapku dengan tatapan tidak percaya. Mungkin mereka merasa aneh melihat mahasiswa nomor satu di kampus ini ternyata akrab dengan mahasiswa paling dikucilkan.

“Lepaskan tanganmu, Cho. Kau tidak lihat semua mata memandang kita?” Aku melayangkan protesku karena aku sendiri merasa tidak nyaman dengan tatapan-tatapan aneh orang-orang. Tapi tampaknya Cho Kyu berpikiran lain.

Cho Kyu tetap merangkulku dan menarikku keluar dari ruangan, mengikuti langkahnya. “Kenapa kau lama sekali? Apa ujiannya sangat susah?” Tanya Cho Kyu saat kami berjalan menuju mobilnya yang entah diparkir dimana.

“Kau tidak lihat tampang kusutku ini? Aku bahkan tidak berani memperkirakan nilai ujianku,” jawabku dengan wajah cemberut yang langsung ditepuk pelan oleh Cho Kyu sambil tertawa-tawa.

“Kalau nilaimu jelek dan kau kehilangan beasiswamu, aku yang akan membayar biaya kuliahmu. Tinggal satu semester lagi kan?” Ujarnya dengan enteng. Orang kaya seperti Cho Kyu memang tidak akan pernah pusing memikirkan biaya kuliah jutaan won.

Aku tidak menjawab. Aku hanya memasang wajah stressku yang aku yakin sangat jelek dilihat. Kalau masih ada yang mau melihatku itu pasti karena Cho Kyu yang berada di sebelahku.

Cho Kyu melihatku lalu menepuk kepalaku dengan lembut. “Tidak usah khawatir. Semua akan baik-baik saja. Sekarang, ayo kita bersenang-senang,” katanya.

“Kita mau kemana? Tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobilnya yang ternyata diparkir di gedung jurusannya, dimana gedung itu terletak hampir 1km dari gedung jurusanku.

“Morning Calm Garden,” jawabnya.

“Mwo?!”

“Wae? Kau sudah pernah ke sana?”

Aku menggelengkan kepalaku. Aku belum pernah ke tempat itu karena aku tidak punya uang untuk membayar biaya masuknya, belum lagi ditambah transportasi menuju tempat itu karena agak jauh dari Seoul. Tidak terlalu mahal tapi aku pikir uangnya bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih berguna.

“Lalu?”

“Tempatnya kan jauh. Bisa-bisa nanti kita sampai malam kembali ke Seoul. Kau tidak ada ujian besok?”

“Tidak ada. Kau?”

“Tidak ada. Aku baru ujian lagi hari Selasa.”

Waktu yang tepat sebenarnya karena aku masih punya empat hari kosong sampai hari ujian berikutnya. “Jadi?” Tanya Cho Kyu karena aku masih tampak berpikir.

Aku mengacungkan jempolku kepada Cho Kyu. “Call!” Seruku dengan penuh semangat. Lumayan, bisa menetralisir ke-stress-an hari ini. “Tapi kau yang traktir. Aku tidak punya uang.”

“Memang sejak kapan aku menyuruhmu mengeluarkan uang saat bersamaku?”

Aku hanya tersenyum lebar, senyum jahil yang aku pelajari darinya.

Cho Kyu melajukan mobilnya menuju Morning Calm Garden yang membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Selama itu, aku tertidur nyenyak. Aku baru terbangun ketika Cho Kyu sudah memarkir mobilnya di tempat parkir Morning Calm.

“Namanya Morning Calm, seharusnya kita datang pagi-pagi bukan sore-sore seperti ini,” kataku hanya bermaksud bercanda.

Cho Kyu tertawa menanggapiku. “Justru seharusnya ketika langit sudah gelap. Jadi kalau kita foto, lampu-lampunya akan terlihat jelas,” kata Cho Kyu.

“Kalau begitu, percuma kita datang sekarang. Langit masih terang. Lampu-lampunya tidak akan terlihat jelas. Iya kan?”

“Kita makan dulu. Aku lapar. Kajja, putri tidur,” ujarnya lalu tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengejekku.

Aku pun keluar dari mobil mengikuti Cho Kyu yang sudah lebih dulu keluar. Ia mendekatiku dan merangkul bahuku seperti biasa untuk menarikku mengikutinya.

“Kau mau makan apa?”

“Apa saja. Aku tidak pilih-pilih makanan,” kataku.

Cho Kyu akhirnya memilih restoran terdekat yang menurut standarnya kalau ramai pasti enak. Aku mengikutinya saja. Begitu juga dengan makanannya, aku memakan apa yang Cho Kyu pesan. Aku tidak ambil pusing.

“Kuliahmu tinggal satu semester lagi, kau mau kerja dimana selesai kuliah?” Tanya Cho Kyu membuka pembicaraan sambil mengaduk-aduk ayam di atas panggangan. Bukan untuk pertama kalinya, namun hal yang sangat jarang, Cho Kyu terlepas dari game online-nya.

Aku hanya mengangkat bahuku. Melihat resume-ku yang sama sekali tidak menawan, jika saja ada perusahaan yang mau menerimaku jadi pegawainya aku sudah sangat bersyukur. “Aku tidak tahu yang penting aku dapat gaji yang layak,” jawabku. “Kau sendiri?”

“Apa kau perlu jawaban, Song Hye?”

Aku mengerutkan keningku untuk memikirkan jawaban Cho Kyu dan aku tersadar mengapa ia balik bertanya kepadaku. “Kau tidak perlu repot-repot memikirkannya karena kau akan mewarisi perusahaan keluargamu,” kataku.

Cho Kyu tersenyum masam. “Dan akan semakin banyak orang yang mendekatiku karena membutuhkan sesuatu. Aku akan semakin banyak bertemu dengan orang yang memiliki motif-motif menyebalkan. Selain itu, aku harus menjaga sikapku demi nama perusahaan,” katanya yang sebenarnya lebih aku klasifikasikan sebagai mengeluh.

Ternyata menjadi orang kaya tidak selamanya bahagia. Tapi setidaknya mereka memiliki uang untuk membeli hal-hal yang dapat membahagiakan mereka, walau untuk sementara.

Dengan penuh kasihan, aku menepuk kepala Cho Kyu. “Di depanku, kau tidak perlu menjaga sikap. Kau juga tidak perlu pusing memikirkan motif-motif yang ada di belakangku saat aku bersamamu karena aku sungguh-sungguh berteman denganmu,” kataku sungguh-sungguh. Aku memang tulus berteman dengan Cho Kyu dan aku tidak mungkin ingin satu-satunya temanku pergi.

Senyum di wajah Cho Kyu berubah terangkat. Ia tidak tersenyum masam namun tersenyum sempurna. “Kau bekerja saja di perusahaan keluargaku. Aku bisa memberikan gaji yang layak. Yah, walaupun posisi dasar tapi layak untuk mahasiswa yang akan atau baru lulus,” kata Cho Kyu.

Mataku berbinar-binar mendengarnya. Aku tidak pernah menyangka, hidupku akan semudah ini. Tanpa pikir panjang, aku bangkit dari kursiku dan melempar diriku untuk memeluk Cho Kyu dan mencium pipinya. “Gomawo, Cho Kyu. Sungguh, terima kasih banyak,” ucapku terlalu senang.

Cho Kyu mengangukkan kepalanya dengan wajah tertunduk. “I…iya. Kembali ke tempatmu sana,” ujarnya dan aku pun kembali ke tempatku. Aku begitu senang bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik untuk kehidupanku.

——

Cho Kyu’s POV

Aku tidak tahu bagaimana cara perempuan ini bertahan hidup di tengah kemiskinan dan kerasnya hidup yang ia miliki. Sejak bayi, ia sudah hidup dengan belas kasihan orang. Katanya, ia ditinggalkan di depan panti asuhan beberapa hari setelah ia lahir. Ia tidak pernah mendapatkan yang namanya kasih sayang orang tua karena tidak ada orang tua yang mau mengadopsinya sampai sekarang ia berusia 20 tahun.

Ia bekerja paruh waktu untuk membiayai hidupnya sedangkan kuliahnya ia peroleh dengan belajar keras untuk sebuah beasiswa penuh.

Berbeda denganku yang mendapatkan segalanya dengan kemudahan. Aku membayar kuliah dan semua keperluanku dengan uang yang sudah disediakan orang tuaku di rekeningku dengan jumlah yang lebih dari cukup.

Tapi meskipun berbeda, kami berteman akrab sejak setengah tahun lalu. Aku menemukan hal pada diri Song Hye yang tidak aku temukan pada orang lain. Ia tidak pernah melihatku sebagai seseorang yang bisa memberikan keuntungan untuknya. Ia datang dengan niat tulus untuk berteman denganku.

“Song Hye!” Seruku.

Aku berlari mendekatinya yang sedang memfotokopi berkas-berkas pekerjaannya. “Kau sudah makan siang?” Tanyaku sambil merangkul bahunya, kebiasaan yang aku lakukan sejak pertama kali bertemu dengannya.

Song Hye sedikit merendahkan tubuhnya sehingga rangkulanku terlepas dari bahunya. Ia menatapku dengan tatapan sedikit menyesal. “Mi…mian,” ucapnya dan aku hanya tertawa kecil melihatnya. Ia pasti merasa tidak enak karena aku, yang menurut tradisi YooHong Group akan menjadi penerusnya, merangkulnya, yang hanyalah pegawai kontrak di perusahaan ini.

“Mau makan siang bersamaku?” Tanyaku.

“Cho Kyu, bukan aku menghindarimu, sungguh. Tapi bisakah kita bertemu hanya di luar kantor? Aku merasa tidak nyaman dengan tatapan orang-orang,” kata Song Hye dengan nada memelas. “Kalau kau tidak terima, aku akan menjelaskan alasannya padamu nanti malam.”

Aku tersenyum lalu menepuk pelan kepala Song Hye. “Aku mengerti. Aku akan menemuimu di tempat biasa nanti malam jam 7. Okay?” Song Hye menganggukkan kepalanya. “Selamat bekerja!” Ucapku lalu meninggalkan Song Hye dengan pekerjaannya.

Sebagai Cho Kyu, jalan hidupku sudah ditentukan. Aku tidak punya pilihan selain melanjutkan YooHong. Aku tidak akan bisa jadi musisi meski aku kuliah jurusan musik. Namun sejak enam bulan lalu, akhirnya aku memiliki cita-cita. Aku ingin mempermudah jalan hidup Song Hye. Karena itu, aku tidak keberatan ia tidak ingin bertemu denganku jika berada di kantor. Aku yakin itu salah satu cara meringankan hidup Song Hye.

Aku memang tidak keberatan jika tidak bertemu dengan Song Hye tapi aku akan memprotes habis-habisan jika ia tidak membalas pesan-pesanku.

Me
13.29 am
Bagaimana pekerjaanmu? Masih sibuk?

Me
13.30 am
Sudah makan siang?

Song Hye
13.32 am
Aku baru sempat makan siang. T__T

Song Hye
13.32 am
Lapar sekali. Kau sudah makan siang?

Me
13.33 am
Sudah daritadi.

Me
13.34 am
Bagaimana dengan tim-mu? Menyenangkan?

Song Hye
13.37 am
Super menyenangkan! Terima kasih telah menempatkanku di tim ini.

Aku tahu Song Hye berbohong. Tim di perusahaan ini tidak ada yang menyenangkan. Semua orang sibuk dengan dengan targetnya masing-masing. Namun melihat Song Hye bisa makan siang dengan banyak orang sambil membicarakan hal-hal yang menurutnya seru, itu sebuah hal yang menyenangkan.

—–

Aku datang lebih dulu ke kafe tempat kami biasa minum kopi sejak zaman kuliah. Seperti biasa, aku memesan americano untukku dan coklat panas tanpa gula dan whipped cream untuk Song Hye. Ia baru datang 10 menit kemudian.

“Maaf aku terlambat,” katanya dengan nafas terengah-engah.

“Kau habis lari-larian?” Tanyaku yang juga melihat sedikit peluh di keningnya. Refleks, aku menyeka keringatnya dengan lengan kemejaku.

“Aku takut kau menunggu lama. Keretaku agak terlambat tadi. Maaf ya,” ujarnya dan aku mau tidak mau tertawa.

“Gwenchana. Aku juga baru datang 10 menit,” kataku. Aku memang baru datang 10 menit dan menurutku Song Hye tidak perlu meminta maaf. Menunggu orang bukanlah pekerjaan berat untukku dan terlambat 10 menit bukanlah dosa, menurutku.

“Oh ya Cho Kyu, bagaimana pekerjaanmu? Menyenangkan?” Tanyanya sambil menenguk coklat panasnya yang entah bagaimana selalu kuat menegak minum-minuman panas.

Aku mengangkat bahuku. “Seperti biasa,” jawabku jujur, aku tidak pernah memikirkan pekerjaanku. Seperti yang sudah aku bilang, jalan hidupku sudah ditentukan, sudah diatur. Begitu juga dengan pekerjaanku. Semua akan berjalan baik-baik saja dalam situasi normal. Aku akan mulai berpikir jika muncul masalah. Tidak berat jadi tidak perlu dipikirkan.

“Kau sudah mulai terbiasa menghadapi orang-orang yang menurutmu hanya ingin mendapatkan keuntungan darimu?”

“Bukan terbiasa. Aku sudah tidak peduli,” jawabku. “Yang penting mereka mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya untukku.” Aku menyeruput americano-ku lalu kembali mengobrol dengan Song Hye. “Aku lihat, kau mulai memiliki banyak teman.”

Song Hye tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan semangat. “Weekend ini kami mau pergi ke Sorak satu tim. Kau mau ikut?”

Aku sengaja mengerutkan keningku. “Apa aku tidak akan mengganggu jika aku ikut?” Tanyaku. “Aku akan selalu berada di sampingmu, merangkulmu, mengoceh macam-macam, mengomentari tingkah laku setiap pegawaiku.”

Song Hye menatapku dengan cemberut. “Kalau begitu kau tidak usah ikut,” katanya. Aku sepakat dengannya. Kalau aku ikut, satu tim bisa tiba-tiba batal pergi ke Sorak. Kecuali, yang mau cari muka denganku.

“Cho Kyu,” panggilnya dan aku meletakkan gelas americano-ku.

“Eoh? Wae?”

“Di tim-ku ada perempuan yang menyukaimu. Katanya kau sangat tampan dan mempesona,” ujar Song Hye.

Tanpa minat, aku menanggapi ucapan Song Hye. “Oh ya? Siapa?”

“Gyun Wi. Park Gyun Wi. Itu, sektretaris team leaderku.” Aku sengaja memasang wajah bingungku. Aku pura-pura berpikir wanita mana di kantorku yang bernama Park Gyun Wi. “Masa kau tidak tahu?”

Aku menggelengkan kepalaku dan meminta maaf. “Mian, aku tidak tahu.”

“Cih! Masa kau tidak kenal dengan pegawai-pegawaimu sendiri?” Omel Song Hye yang aku dengarkan dengan sukarela daripada aku harus mendengarkan ocehannya tentang wanita-wanita di kantor yang katanya menyukaiku. Aku yakin, seluruhnya menyukai hartaku.

“Park Gyun Wi minta aku mengenalkannya padamu. Maksudnya, kalau ada kesempatan, ia minta tolong didekatkan denganmu. Ia hanya ingin mengobrol,” kata Song Hye yang sama sekali tidak menarik minatku.

Aku bangkit berdiri dari tempat dudukku lalu menyuruh Song Hye bergeser masuk sehingga aku bisa duduk di sebelahnya. “Song Hye yang paling cantik, dengarkan aku,” ujarku sambil merangkul bahunya. “Aku tidak tertarik dengan gadis-gadis di kantor. Tidak. Terima kasih.”

“Termasuk aku?” Tanyanya polos dengan senyuman lebar yang memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi.

Aku ingin sekali menjitak kepala perempuan yang satu ini. Enam bulan berteman dengannya, tampaknya aku masih harus bersabar menghadapi kemampuan otaknya yang memang berada di atas rata-rata namun tidak secerdas aku. Bagaimana mungkin ia bisa menanyakan hal itu dengan ringannya.

“Kau pengecualian,” kataku jujur. “Kalau aku alergi padamu, bagaimana bisa aku berada di sini minum-minum bersamamu. Ya kan?”

“Gomawo. Kau memang teman terbaikku. Satu-satunya yang terbaik.”
Song Hye tersenyum kepadaku sambil memelukku walau sebentar. Ia kembali menikmati coklatnya di saat aku berusaha menenangkan debar jantungku yang tidak karuan setiap berdekatan dengan Song Hye.

Aku menyadari kelemahan satu ini ketika ia pertama kali memelukku saat aku menawarkannya pekerjaan di YooHong enam bulan lalu. Sejak saat itu, aku menyukainya. Setiap aku dekat dengannya, jantungku berdebar tidak karuan namun saat-saat itu adalah saat yang paling menyenangkan.

Aku sadar rasa sukaku telah berubah menjadi cinta dan aku sudah berusaha menunjukkannya kepada Song Hye tapi, seperti yang aku bilang tadi, aku harus bersabar menghadapi kemampuan otak perempuan ini.

“Habiskan coklatmu. Setelah itu, aku akan mengantarkan kau pulang,” ujarku sambil mengadu pelan keningku dengan kepala Song Hye yang berada sejajar dengan mataku.

Kkeut!

xoxo @gyumontic

15 thoughts on “Chocolate Coffee

  1. Kyaaaa…ada ff baru lagii..hoho

    Ini akan jadi sequel kah eon? Hihi
    Hemm agak berbeda yaa dari cerita2 eonni biasanya..kali ini hyejin berbeda dengan kyuhyun..semoga kalaupun sequel tetep happy ending ^^

    Eonni~~ pleaseee lanjutkan ff xx+xy.. penasaraaan pake bangeeet gimana kelanjutannya T_T

    selalu menanti cerita dari eonni kece ini ^^ fighting !!!

    1. Thank youuu..

      Hehehhee.

      Doain ya si xxxy segera selesai. Waktu itu udah diketik tp hape hrus direset ulang, semua dokumen ilang. Hahahhaaa…

  2. argh! gemes bacanyaaaaa mana endingnya yahhhh gantung bgt trs gimana itu gimana mereka aaakkkk mau temenan sama cowo kaya gitu trs eh jodoh hhahaha ditunggu ff ff lainnyaaaaa

  3. Haha.. Si kyu kok ga lgsung tembak aj gitu.. Pke acara kode2 gitu.. Ya bner lah.. Otak dangkal song hye ga mmpu tuh nangkep ny.. Hihihi upss sorry.. 😂😂
    But.. Ff ny bagus kok.. Senyom2 gaje bacanya dr awal mpe akhir.. Hihihi

  4. alhamdulillah eonni post ff, kirain aku eonni pingsan hahahahah #nyengir bareng kyu
    semangat terus ya eonni, ska bgt dengan cerita yg kamu buat, selalu berkesan dan terlalu manis bgt untuk bikin aku iri

    love you eonni, big love for you #peluk cium bareng kyu muachhh

  5. Pertemuan yg singkat tpi mreka trlihat bhagia mngenal satu lain n msih bingung dg status mreka apa mreka cma tmenan d liat dri prckapan mreka hnya sebtas teman , mungkin dg brjlannya wktu mreka akn smkin dekat trus memiliki stu hbungan yg lbih intim😄

  6. Lha kok buyar???? Cepet banget…sequel please….hehehe

    Manis critnya…cman nanggung….lgi manis manis nya lha kok kket…hehe…

Leave a comment